Hay teman- teman semua ..
sekarang,, iphend lagi mau berbagi informasi buat teman- teman khususnya buat anak- anak MALUKU ..
semoga bermanfaat ya ??' :)
Godbless We All_

sekarang,, iphend lagi mau berbagi informasi buat teman- teman khususnya buat anak- anak MALUKU ..
semoga bermanfaat ya ??' :)
Godbless We All_
Mena-Muria: Sebuah Tafsir Simbol Budaya
Di
dalam setiap kebudayaan, manusia menciptakan, melakukan, dan terbelit
dalam jejaring simbol-simbol yang senantiasa membutuhkan tafsir dan
pemaknaan. Jejaring simbol-simbol yang paling rumit tetapi mengasyikkan
adalah "bahasa". Di dalam bahasa, manusia melakukan pertukaran
simbol-simbol dalam suatu sistem makna yang disepakati (konsensus).
Konsensus tersebut memungkinkan bahasa menjadi media komunikasi.
Keberalihan atau distorsi sistem makna yang disepakati akan menimbulkan
produk tafsir yang berbeda. Tafsir yang berbeda akan memengaruhi respon
yang tidak diharapkan karena dianggap berada di luar kerangka konsensus
simbolik. Nah, jika distorsi makna ini tidak terjembatani dalam proses
translasi yang memadai maka manusia selalu berada dalam apa yang disebut
Paul Ricoeur sebagai conflict of interpretation.
Dengan
konstatasi tersebut, tulisan ini hendak membidik simbol "mena-muria"
sebagai suatu konstruksi budaya yang mesti diarahkan pada konsensus
sistem makna yang komunikatif. Fragmentasi "mena-muria" hanya pada
kapling ideologis yang dicecarkan secara sepihak – dalam hal ini oleh
negara – kepada komunitas tertentu – dalam hal ini orang Maluku dan
hantu RMS – hanya menggiring kepada pemerkosaan "tubuh" budaya tetapi
abai pada "roh" budaya dalam konstruksi identitas kemalukuan. Maksudnya,
"mena-muria" hanya terpahami dalam wadag kulturalnya, sementara sistem
makna dan daya simboliknya tercecer dalam episteme yang dangkal.
Mena-Muria sebagai Pandangan Dunia
Menetapkan
arti harfiah "mena-muria" tidaklah mudah, setidaknya bagi saya pribadi.
Kesulitannya lebih terletak pada ketercerabutan diri dari khazanah
budaya lokal yang terekspresi melalui bahasa "asli" (bahasa tanah).
Dalam arti itu, saya merasa teralienasi dari kemalukuan yang memberi
cita-rasa budayanya dalam ekspresi bahasa. Apa yang saya peroleh
hanyalah penggalan "mena" yang berarti "maju/muka", dan "muria" yang
berarti "belakang". Sementara kesatuan maknanya tak jelas. Ada yang
mengartikannya "siap muka-belakang"; "maju terus jangan mundur";
"berjuang sampai mencapai tujuan di depan"; "melihat ke depan sambil
belajar dari yang lalu", dll. Sebagai hasil tafsir simbolis, arti-arti
itu bisa saja diterima.
Kepelbagaian
arti "mena-muria" itu pun bisa dipahami sebagai luwesnya idiom itu
digunakan dalam berbagai bidang kehidupan. Namun demikian, dari
arti-arti tersebut di atas "mena-muria" menggambarkan suatu konstruksi
realitas yang dibahasakan dalam ungkapan-ungkapan tertentu. Bukan hanya
untuk menyatakan suatu pesan, melainkan juga menyingkapkan suatu pandangan dunia (worldview)
tertentu. Pandangan dunia adalah suatu daya konstruktif manusia untuk
menyederhanakan kompleksitas realitas dalam bentuk-bentuk kebahasaan
yang simple and acceptable dalam suatu komunitas. Suatu
model realitas yang di dalamnya manusia melibatkan eksistensinya.
Model-model itu bisa kita lihat dalam mitos-mitos, cerita-cerita rakyat,
idiom-idiom budaya, lagu-lagu rakyat.
Dalam
kerangka pikir itu, "mena-muria" hanyalah satu dari sekian banyak idiom
budaya di Maluku, seperti: sagu salempeng dipata dua, ale rasa beta
rasa, potong di kuku rasa di daging, dll. Apa yang nampak dari
idiom-idiom budaya tersebut, termasuk "mena-muria", merupakan pemaknaan
kreatif terhadap realitas. Dalam antropologi budaya, konstruksi realitas
semacam itu disebut oposisi biner (dua yang berlawanan). Tetapi saya
lebih merujuk kepada pendekatan Homi Bhabha yang melihat dekonstruksi
sebagai kritik untuk menggagas kembali oposisi biner yang terlampau
disederhanakan sebagai "penjajah" dan "terjajah" sekaligus untuk
mempertanyakan anggapan-anggapan metodologis dari para teoritisi
pascakolonial. Bhabha mengajukan model liminalitas untuk menghidupkan
"ruang" persinggungan antara teori dan praktik kolonisasi – suatu ruang
yang tidak memisahkan tetapi sebaliknya menjembatani hubungan resiprokal
antara teori dan praktik. Dengan menyandingkan keduanya, Bhabha
berusaha menemukan pertautan dan ketegangan antara keduanya yang
melahirkan hibriditas.
Dalam Key Concepts in Post-Colonial Studies,
dijelaskan bahwa liminalitas (Bhabha) menjadi penting dalam teori
pascakolonial karena kesahihannya dalam mendeskripsikan suatu "ruang
antara" di mana perubahan budaya dapat berlangsung. Suatu ruang
antarbudaya di mana strategi-strategi kedirian personal maupun komunal
dapat dielaborasi, suatu wilayah di mana terdapat proses gerak dan
pertukaran status yang berbeda-beda yang terus-menerus. Identifikasi
semacam itu memang bukan sekadar gerak-pindah sederhana dari satu
identitas ke identitas yang lain, identifikasi ini adalah proses
keterlibatan, kontestasi dan penyesuaian. Bhabha menghindari oposisi
biner yang konfrontatif atau saling menaklukkan. Ia malah menawarkan
suatu ruang ambang (liminal) yang mampu berperan sebagai ruang untuk
interaksi simbolik. Ruang antara atau ketiga itu adalah: Teks!
Hermeneutik Teks "Mena-Muria"
Hermeneutik
yang dimaksud di sini tidaklah sebatas "tafsir", melainkan – mengikuti
Ricouer – interpretasi atas ekspresi-ekspresi kehidupan yang ditentukan
secara linguistik. Di sini ditegaskan keharusan untuk mempertimbangkan
bahasa sebagai peristiwa (parole), yang ditambahkan kepada bahasa sebagai sistem tanda (langue). Jika "mena-muria" ditempatkan dalam kerangka parole
maka pada dirinya terkandung cetakan-cetakan memori peristiwa yang
menjadikannya sebagai "sejarah"; yang dianggap pernah terjadi tanpa
memastikan aktualitasnya di masa lampau. Inilah yang oleh Roland Barthes
disebut sebagai "mitos" – mitos bukanlah kebohongan atau pengakuan,
melainkan pembelokan. Agar mitos itu manjur maka ia harus tampak
sepenuhnya alami; pesan mitos tidak perlu ditafsirkan, diuraikan atau
dihilangkan.
Memahami
"mena-muria" sebagai mitos mesti ditempatkan dalam kerangka
interpretatif budaya bahwa konsep ini bukanlah sekadar ungkapan.
"Mena-muria" lebih merupakan refleksi kesadaran sosio-historis yang
membuka space (ruang) bagi pertemuan unsur-unsur kultural yang berkonflik; bukan hanya sekadar place
(tempat). Pada "ruang" inilah mena-muria menjadi titik konvergensi
matra-matra kultural yang hidup dan berkonflik. Suatu arena bagi
perjumpaan, percakapan, keterbukaan, untuk menghadirkan (bukan sekadar
menerima) "yang lain". "Yang lain" itu berbahaya dan mengancam ketika
belum menjadi bagian dari eksistensi "kita"; tetapi "yang lain" itu
tidak ditolak. "Yang lain" itu diserap menjadi "kita", sehingga ancaman
itu dijinakkan. Di situlah saya melihat pemaknaan "mena-muria" ketika
diejawantahkan menjadi "siap muka-belakang". Bukan dalam arti
konfrontatif, melainkan akomodatif. Inklusi bukan eksklusi.
Bahwa kemudian "mena-muria" didistorsi pada sebagai bahasa politik, ini menjadi persoalan dalam sistem tanda (langue).
Ferdinand de Saussure mengatakan bahwa bahasa itu selalu berubah.
Bahasa tidak berubah sesuai dengan keinginan para individu, tetapi
berubah dalam waktu dengan cara yang tidak tergantung pada kehendak para
penuturnya. Di situ saya melihat bahwa "mena-muria" tidak bisa
dibekukan hanya pada satu kutub di antara ekstrem "hitam" dan "putih",
"nasionalis" dan "separatis". "Mena-muria" mesti dipahami sebagai
cara-mengada-dalam-bahasa yang merepresentasikan pandangan dunia orang
Maluku. Pengurungan "mena-muria" dalam sangkar ideologis oposisi biner
nasionalis-separatis hanyalah penundukkan kearifan lokal di bawah
kekuatan "negara". Kearifan lokal itu sendiri merupakan basis material
dan ideal dari dinamika masyarakat sipil, yang pada gilirannya menjadi
salah satu pilar berdiri-teguhnya suatu negara.
Jika demikian, menurut saya, kita sebaiknya memahami "mena-muria" sebagai suatu space
untuk berdiskursus dengan bebas-merdeka sebagai manusia Indonesia. Kita
tidak lagi terbelenggu oleh ketakutan dan pseudo-intelektualitas yang
selalu menghindar karena kekuatan negara. Sebaliknya, menghayati
"mena-muria" justru membuka ruang ambang bagi interaksi simbolik dalam
ranah tafsir budaya di Maluku. Saya jadi berpikir, tidakkah
spiritualitas budaya semacam ini yang menjadi kesepakatan kita
berindonesia? Bahwa dalam keberbedaan, kita makin mengenali diri
sendiri. Bahwa menerima "yang lain" adalah supaya kita semakin menjadi
manusia sejati. Bahwa untuk maju (mena) tidaklah mungkin melepaskan masa
lalu atau sejarah (muria). Lantas, tidakkah "mena-muria" senafas dengan
"bhineka tunggal ika"?